Maret 25, 2010

gorden

Gorden merah tua itu sebenarnya tidak aneh, bentuknya wajar layaknya gorden biasa dengan motif kembang pudar menggantung anggun pada penyangganya. Orang-orang yang melewati rumah kaca itu selalu memasang matanya tajam-tajam agar bisa melihat isi rumah kaca yang dalamnya terhalang gorden merah tua.
Rumah kaca itu beratap coklat dengan gorden merah tua besar mengelilingi seluruh sisi rumah kaca tanpa celah, bahkan pintu dan jendelanya begitu rapat tertutup.
Februari tahun 1989, orang tuaku membeli rumah disebrang rumah kaca bergorden merah tua, di hari yang sama saat tirai merah tua itu dipasangkan. Ayah berasumsi, sepasang Kakek dan Nenek tinggal disana. Karena Ayah melihat sepasang orang tua memasang gorden yang amat sangat besar itu sambil tertawa-tawa dan bercanda.
Namun,Berbulan-bulan seterusnya Ayah tak pernah lagi melihat pasangan tua di rumah kaca itu.
Pernah suatu sore Ayah memberanikan diri mengetuk pintu rumah yang mulai tak terurus itu, hasilnya nihil, tak ada jawaban. Malah Ibu berinisiatif menyimpan makanan di pintu depan. Setiap pagi piring yang Ibu simpan selalu kosong, mungkin penghuni rumah itu memakannya, atau tidak, Ibu pun tak tahu. Sampai suatu pagi piring makanan Ibu masih penuh tanpa tersentuh dan hal itu berlanjut selama seminggu. Sejak itu Ibu tak pernah menyimpan makanan lagi di depan pintu rumah kaca.
Akhir tahun 1995, dimana aku lahir, cerobong asap rumah kaca mengepul. Para tetangga sekitar termasuk ayah dan ibuku berkumpul di jalan, menerka-nerka isi rumah kaca yang tertutup gorden merah tua besar itu. Pertanyaan-pertanyaan dan desas-desus rumah kaca dengan gorden merah tua mengema di kalangan komplek rumah. Hantu, mistik, ilmu hitam, kekuatan jahat dan desas-desus tak jelas itu mewabah di seluruh lapisan masyarakat komplek, para pembantu, anak-anak, remaja, ibu rumah tangga hingga bapak-bapak pekerja juga orang-orang yang tak sengaja lewat dan bertandang.
Hingga kini, di era modern ketika teknologi merebak dimana-mana, rumah kaca bergorden merah tua masih jadi perbincangan. Yang lebih konyol dari itu semua, beberapa masyarakat menyakini rumah kaca bergorden merah tua itu dihuni alien.
“Kamu percaya?” Tanya Ayah dengan raut menahan tawa.
“Tentu aja enggak, ” pipiku memerah.
“Apa menurut Ayah gorden merah tua itu aneh?”
“Enggak,”
“Menurutku aneh.”
“Oya?”
Aku mengangguk pelan-pelan. Ayah beranjak dari duduknya, mengacak rambutku dan berjalan menuju jendela.
Tangannya menunjuk ke arah gorden merah tua di rumah kaca,
“Disana jam 2 pagi, selalu ada siluet laki-laki diatas kursi goyang.” Wajah Ayah nampak serius sedangkan Aku tertegun, mengangkat sebelah alisku tanda bingung.
“Kakek itu masih hidup,” lirih Ayah ke telingaku.
“Ayah pasti bercanda,”Aku bergidig sementara Ayah tersenyum simpul dan berlalu.

^^^^^^^^^^^
“ADA!” Aku hampir bersorak di balik pagar rumah, antara takut dan senang. Cahaya lilin yang redup mulai menebar siluet-siluet perabotan dan tanaman pada gorden merah tua, termasuk sosok laki-laki dengan topi serupa baret. Baret? Ayah bilang siluet laki-laki itu si Kakek yang masih hidup. Tapi nampaknya tidak mungkin, sosok laki-laki dengan topi baret itu terlalu gagah untuk seorang Kakek-kakek yang umurnya pasti diatas 70 tahun.
Sosok itu berdiri dari kursi goyang, berjalan tegap ke arah tirai merah tua dam menyibaknya!
Hupp.. Aku buru-buru menunduk, berharap siluet itu tak melihatku. Jantungku berdegup kencang sekali, nafasku terengah-engah. Ku intip lagi lewat celah yang lebih sempit, sosok itu menghilang bersamaan redupnya lilin.
Aku makin bergidig, keringat sebesar biji jagung turun bergerombol dari dahiku.
Besoknya aku menghampiri Ayah di meja makan, Aku mengatakan apa yang kulihat dini hari tadi. Ayah terbahak-bahak kemudian mengatakan bahwa Aku adalah anak menyedihkan yang terlalu terobsesi pada hal-hal tidak penting.
^^^^^^^^^^^^
Dihadapanku kini terpampang 2 nisan baru yang seharusnya sudah tertancap beberapa tahun lalu. Nisan kakek dan nenek pemilik rumah kaca- bergorden merah tua dengan kembang berwarna pudar.
Sehari setelah Ayah menertawaiku, Aku melapor pada petugas keamanan sekitar, mulanya mereka takut karena desas-desus yang berdengung tak jelas di kalangan komplek.
Tapi akhirnya mereka mau mengantarku ke pusat keamanan dengan surat pengantar pemugaran.
Dua hari setelah itu petugas pemugaran memugar rumah kaca. Tak ada yang mengejutkan kecuali sebuah kotak kaca berisi dua mayat yang diawetkan dengan apik dan bersih.
Anak mereka satu-satunya yang bekerja di militer pusat mengawetkan pasangan itu sesuai surat wasiat. Setelah mengetahui rumah kaca di pugar, anak mereka beberapa kali mencoba bunuh diri.
Setahun terakhir diketahui Ia mengidap depresi beratdan masuk rumah sakit jiwa.
Aku menabur bunga merah tua diatas dua makam yang tanahnya masih basah itu.
Berharap mereka bisa bahagia dan abadi, bukan di kotak kaca atau makam mereka, terlebih di surga .
:)

*cerpen tugas bahasa indonesia yang dapet nilai 6.5
:P

2 komentar:

Anonim mengatakan...

masa cuma 65 nilainya?

Ratu Tresna Ning Gusti mengatakan...

iah, 65 .
^^
nilai yang memuaskan untuk kualitas tulisan beginian.